MENINDAKLANJUTI RINTISAN VAN DER HOOP

  • MENINDAKLANJUTI RINTISAN VAN DER HOOPIndonesia dengan aneka suku bangsa, memiliki beragam ornamen yang terdapat pada berbagai benda produk seperti tenun, sulaman, anyaman, ukiran, arsitektur, dan sebagainya. Kekayaan budaya ini sungguh amat membanggakan.

    Judul buku : ORNAMEN NUSANTARA

    Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia

    Penulis : Drs. Aryo Sunaryo, M.Pd. Seni

    Penerbit : Dahara Prize, Semarang

    Edisi : Pertama, Cetakan Kesatu, Maret 2009

    Tebal : xx + 220 hlm + bonus CD

    Harga : Rp65.000,00

    Oleh IMRON SAMSUHARTO

    ORNAMEN berasal dari bahasa Latin ornare yang berarti menghiasi. Ornamen merupakan penerapan hiasan pada suatu produk. Fungsi utamanya adalah untuk memperindah benda produk atau barang yang dihias. Bisa saja benda tadi sudah indah, tetapi setelah ditambahkan ornamen padanya diharapkan menjadikannya semakin indah.

    Indonesia memiliki kekayaan ornamen yang terdapat pada bermacam benda produk, pada tenun, sulaman, anyaman, ukiran, arsitektur, dan sebagainya. Bahkan, menyitir pendapat Fisher (dalam Kartiwa, 1993), pada catatan Pendahuluan buku ini ditegaskan, bahwa tidak ada negara seperti Indonesia yang memiliki demikian kaya dan beragam ornamen yang dapat ditemui dalam tenunnya (hlm xvii).

    Buku seukuran majalah ini diniatkan untuk menyebarluaskan khazanah budaya bangsa, khususnya ornamen Nusantara. Ornamen Nusantara tersebar di berbagai daerah kepulauan Indonesia menurut kekhasan dan keragaman masing-masing. Sebagaimana dimafhumi, buku-buku tentang ornamen Indonesia atau ragam hias yang tersebar di berbagai daerah sebagai ornamen Nusantara, masih sedikit jumlahnya, kalau tidak boleh dibilang langka.Maka, dilatarbelakangi hal yang demikian, dalam Prakata buku Ornamen Nusantara ini, Sunaryo (penulis) merasa terdorong untuk mengembangkan ragam hias itu menjadi buku yang mengkhususkan kajian tentang ornamen Indonesia.

    Pun lahirnya buku kategori langka tulisan Aryo Sunaryo, dosen Seni Rupa UNNES Semarang, ini diilhami referensi Van der Hoop (1949) dengan bukunya Ragam-ragam Perhiasan Indonesia yang terbit dalam edisi tiga bahasa sekaligus, yakni Indonesia, Inggris, dan Belanda. Pustaka yang disebut-sebut sebagai kajian pertama kali tentang ornamen Nusantara, ini dilengkapi gambar-gambar yang dicetak bagus yang diambil dari pendokumentasian foto maupun ilustrasi yang memesona. Hoop membahas tentang latar belakang dan pertumbuhan ornamen Indonesia, berbagai ornamen motif geometris, motif manusia, binatang, hingga tumbuh-tumbuhan serta benda-benda alam. Namun, motif hias kaligrafi tidak disinggungnya.

    Dari motif geometris hingga benda teknologis, kaligrafi, dan abstrak

    Dalam abad komunikasi sekarang ini, derasnya pengaruh luar dan besarnya tantangan yang dihadapi, berimbas pada eksistensi ornamen Nusantara yang berkembang di daerah, bahkan sebagian justru telah mati merana karena tidak ada yang meneruskan dan mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, pendokumentasian, pengkajian, dan penyebarluasan ber-bagai ornamen Nusantara perlu dilakukan lebih serius sebelum kita kehilangan segalanya.

    Nada “pesimisme” seperti ini bukan tanpa alasan. Kenyataannya apresiasi terhadap seni ornamen Nusantara sungguh terasa kurang. Maka segala upaya pelestarian, pe-meliharaan, dan pengembangan seni ornamen Nusantara mesti terus digalakkan. Pengenalan dan pengapresiasian terutama oleh para pelajar dan mahasiswa penting dilakukan seiring dengan pendekatan pendidikan seni multikultural dan pendidikan seni nusantara.

    Sunaryo mengawali deskripsinya dengan konsep-konsep yang terkait dengan orna-men Nusantara. Dirangkai dengan kajian klasifikasi motif hias: geometris; manusia; binatang air dan melata; binatang darat dan makhluk imajinatif; tumbuh-tumbuhan; benda alam dan pemandangan; benda teknologis, kaligarfi, dan abstrak. Deskripsi diakhiri dengan teknik-teknik yang bertalian dengan gambar ornamen, terutama ditujukan bagi mereka yang ingin mengembangkan keterampilan menyajikan gambar ornamen.

    Motif hias geometris merupakan motif tertua, dikenal sejak zaman prasejarah. Motif ini berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai dengan pola yang rumit. Di Minangkabau, misalnya, dikenal motif hias itik pulang petang yang cenderung abstrak. Uniknya, tidak tampak sedikit pun gambar itik, kecuali perulangan bentuk huruf Z dengan formasi condong ke depan. Ini mengandung falsafah adat sebagai simbol ketertiban. Ada pula motif anyam Kapuas Hulu Kalimantan, motif geometris tenun Padang, pola anyam Pekalongan dan Cilacap, motif geometris kain tapis Lampung, batik Jawa, tenun Toraja, ukir kayu Papua, dan sebagainya.

    Motif hias manusia juga dikenal sejak kebudayaan prasejarah. Misalnya pada nekara (gendang perunggu) yang menggambarkan sosok manusia. Juga pada artefak pahatan batu gajah peninggalan zaman megalitikum di Sumatra Utara. Disebut batu gajah karena melukiskan seorang penunggang gajah membawa nekara dan di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Motif manusia ditemui juga pada relief dinding candi Borobudur, patung batu Nias dan Batak, patung kayu Kalimantan Timur, patung mbis Asmat Papua. Motif hias manusia melambangkan penggambaran nenek moyang dan simbol kekuatan gaib untuk penolak bala. Digolongkan motif manusia adalah benda-benda budaya seperti wayang, kedok atau kala, motif hias anggota badan, motif mamuli (Sumba) dan taiganja (Sulawesi Tenggara).

    Motif hias unggas banyak menghiasi hasil tenun, batik, sulaman, pahatan, atau ukiran. Motif burung atau unggas melambangkan dunia atas, dunia roh, dunia para dewa. Misalnya motif batik Pesisiran dari Cirebon, Pekalongan, Lasem, Tuban, hingga Gresik. Namun ternyata motif unggas pun telah dikenal sejak zaman prasejarah seperti nekara pulau Leti yang berhias motif burung. Burung yang kerap dipakai sebagai motif hias adalah merak, enggang/rangkong, ayam jantan/jago, nuri, garuda, dan phonix. Selain itu, ada pula motif burung hantu manguni Sulawesi Utara, yang melambangkan penjaga keselamatan.

    Berikutnya adalah motif hias binatang air dan melata. Motif ini mewakili dunia bawah, dan dalam ornamen Nusantara jumlahnya sedikit, kurang bervariasi dibandingkan dengan motif unggas/burung. Amat jarang motif ikan menjadi motif sentral dalam suatu ornamen. Cukup aneh, mengingat wilayah Nusantara sebagian besar terdiri atas lautan. Motif ikan bisa ditemui pada pahatan batu kubur atau candi di Jawa Timur, motif udang pada kain tenun Sumba, udang dan kepiting pada batik Pesisiran. Motif penyu dan kura-kura ditemukan pada benda prasejarah sarkofagus (peti kubur batu). Sedangkan motif ular dan naga banyak ditemui di Jawa dan Bali. Ada pula motif buaya, kadal, dan biawak yang dipandang sebagai penjelmaan nenek moyang, ini bisa ditemui pada rumah Batak Karo, Tou-unbulu Sulawesi, juga Lampung, serta kraton Yogyakarta. Motif lainnya adalah siput, lipan, dan kalajengking yang ditemukan pada tombak pusaka dari Jawa, juga pada rumah adat Batak Mandailing.

    Klasifikasi selanjutnya motif hias binatang darat dan makhluk imajinatif. Gajah, mi-salnya, banyak menghiasi relief candi Borobudur di abad IX. Demikian pula singa, kerbau, sapi, kambing, anjing, kijang, babi, rusa, kera, dan tikus. Penggambaran itu berfungsi sebagai bagian dari pengisahan cerita yang terkait dengan ajaran yang disampaikan, pengisahan fabel, perlambangan, atau hiasan estetis belaka. Perlambangan mengandung makna kekuatan, kepahlawanan, keberanian, kegesitan, kesucian, kesu-buran, kendaraan arwah, wahana dewa, penolak yang jahat. Contoh lainnya adalah tanduk kerbau pada rumah tradisional Toraja, motif banteng pada gerbang kraton Kasepuhan Cirebon, pahatan fabel di candi Penataran, motif kerbau pada tenun Sumba.

    Pada relief dinding candi Borobudur, motif kuda dipahatkan sebagai kendaraan kaum bangsawan. Sidharta naik kereta berkuda diiringi para pengikutnya. Motif kuda juga terdapat pada alat musik tradisional Sulawesi, tirai sutra ranjang pengantin Bukittinggi-Sumatar Barat, pahatan batu kubur Batak, pahatan candi Sawentar-Jawa Timur. Di masjid Mantingan, Jepara, terdapat hiasan ukir batu bermotif kera dan kepiting.

    Motif binatang khayali atau makhluk imajinatif, antara lain ditemui di Bali dalam bentuk ukir kayu motif singa bersayap. Motif ini terdapat pula pada pahatan candi Penataran. Sedangkan kuda bersayap ditemui pada pintu gerbang kraton Sumenep, Madura. Di Bali juga terdapat motif makhluk imajinatif gajah mina yang berarti setengah gajah, bentuk tubuh ikan tetapi kepala menyerupai gajah. Di Cirebon ditemukan motif gabungan singa, burung, dan gajah atau disebut prabangsa; dan gabungan naga (liong-China) dan gajah atau naga liman; ada pula sosok binatang berkuku singa, berkepala naga, dan bertanduk liong, bermoncong belalai seperti gajah, berbadan kuda, bersayap seperti buraq.

    Klasifikasi motif tumbuh-tumbuhan (flora). Motif ini belum berkembang pada zaman prasejarah. Menurut Hoop, dalam zaman prasejarah di Indonesia tidak terdapat ornamen tanaman, tetapi kemudian, di zaman pengaruh Hindu yang datang dari India, ornamen tumbuh-tumbuhan menjadi sangat umum dan sejak ini pula menjadi bagian utama dalam dunia ornamentasi di Indonesia (hlm 153).

    Pada klasifikasi ini dikenal motif sulur, sejenis tanaman menjalar dengan pola ikal berulang secara bergantian arah; dikenal pula motif pucuk rebung atau tumpal dengan gubahan bentuk flora yang bervariasi. Motif flora tidak selalu bermakna simbolik, justru lebih sering menekankan makna keindahan hiasan. Motif ini dipahatkan pada batu hiasan candi, pada benda-benda produk seperti keramik, kain sulam, bordir, tenun, batik; juga pada barang-barang yang terbuat dari emas, perak, kuningan, perunggu.

    Di antara bermacam bunga, teratai merupakan bunga yang sering dijadikan motif hias, melambangkan kemurnian dan kesucian. Dalam kepercayaan Budha, teratai juga meru-pakan simbol kemurnian karena muncul tidak tercela meskipun dari dalam lumpur. Delapan helai mahkota bunganya merupakan simbol delapan sikap kesusilaan. Di kraton Cirebon, teratai dianggap sebagai lambang kebesaran dan ketatanegaraan. Di kraton Yogyakarta terdapat pula motif hias teratai yang dipadu dengan motif naga, juga dengan tawon dan tangan di bangsal Sitinggil.

    Motif benda alam dan pemandangan; serta motif hias benda teknologis, kaligrafi, dan abstrak merupakan dua motif terakhir yang dideskripsikan. Motif benda alam meliputi matahari, bulan, dan bintang. Contoh ragam hias matahari ditemui pada ornamen Toraja, motif hias bulan pada perhiasan kalung, perhiasan kepala, dan sebagainya. Motif bulan kadang dikombinasikan dengan bintang seperti bangunan tradisional Melayu di Ponti-anak. Sedang motif hias pemandangan termasuk motif yang menggambarkan alam. Mi-salnya pada relief candi Borobudur yang menggambarkan sebuah taman dengan pepo-honan dan satwa.

    Motif hias benda teknologis, kaligrafi, dan abstrak. Benda-benda teknologis meru-pakan benda yang dibuat manusia seperti tembikar, instrumen musik, perahu, bangunan, dan sebagainya. Semua benda buatan manusia untuk peralatan dan keperluan hidup sehari-hari digolongkan ke dalam benda teknologis. Umumnya tidak memilki arti per-lambang tertentu, kecuali bagian dari informasi atau narasi yang terkait dengan tema ornamen secara keseluruhan.

    Yang menarik di sini adalah kaligrafi, yang pada kajian rintisan sebelumnya tidak disinggung oleh Hoop. Kaligrafi adalah seni tulis-menulis indah, umumnya dengan huruf Arab. Ini berkembang searah dengan kebudayaan Islam di Nusantara. Dalam kaligrafi, aksara memiliki fungsi spiritual, praktis, dan estetis. Motif hias kaligrafi Arab paling tua di Nusantara ditemui pada batu-batu nisan abad ke-12. Pada perkembangan berikutnya, kaligrafi diterapkan untuk menghias masjid, baik dinding luar, dinding dalam, mihrab, langit-langit, maupun gapuranya.

    Sedangkan motif abstrak banyak menghiasi batik, misalnya motif sida luhur, sida mukti, dan sebagainya. Ditemukan pula pada motif ukir kuciang lalok (kucing tidur) dan motif itik pulang petang di Minangkabau, padahal di situ tak ada bentuk kucing atau itik; juga beberapa ukiran Asmat Papua. Motif abstrak ditemukan pula pada pamor bilah keris di Jawa.

    Teknik gambar ornamen

    Kemampuan menggambar suatu ornamen akan meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap ornamen yang bersangkutan. Gambar ornamen diperlukan, baik seba-gai ilustrasi visual suatu ornamen maupun sebagai rancangan sebuah ornamen. Gambar ornamen dapat dihasilkan dengan teknik mencontoh langsung melalui contoh foto atau gambar reproduksi suatu ornamen. Namun demikian, diperlukan kemampuan yang cukup tentang pengetahuan menggambar, terutama mengenai proporsi dan skala objek, kece-katan menarik garis, atau membuat sketsa. Gambar ornamen dapat ditampilkan hitam-putih atau berwarna. Tentu saja peralatan serta teknik yang pas dan tepat akan menentukan kualitas hasil akhir suatu ornamen.

    Pendeskripsian dan pengkajian tentang ornamen Nusantara dalam buku ini, berarti menambah dokumentasi serta penyebarluasan pustaka seni budaya yang notabene makin ditinggalkan dan tidak dilirik oleh generasi penerus. Salah siapakah? Yang pasti “bukan salah bunda mengandung”.

    Imron Samsuharto

Diterbitkan oleh samsuhartoyesoke

Imron Samsuharto, lahir di kota pantura Jawa Tengah, Pemalang, 28 April 1965. Menyukai dan meminati dunia tulis-menulis, selalu ingin maju dalam hidup dan kehidupan dengan mengasah pikiran, dan memperbaharui semangat hidup dengan mencerap motivasi dari dan bersama orang-orang yang penuh energi. Sempat mengedit lembaran-lembaran buku ribuan halaman dari ratusan judul. Meresensi buku juga ditekuninya, pernah muncul di Suara Merdeka (Semarang) dan Kompas (Jakarta). Tulisan bergenre kolom bahasa, turut menyambangi majalah Tempo (Jakarta).

Tinggalkan komentar